Friday, October 26, 2007

Dialog Antaragama


Mencari Model Hubungan Antarkelompok

ST SULARTO

Upaya dialog antaragama atau lebih tepat dialog antarpenganut agama mengalami pasang surut. Tahun 1970-an mengalami masa keemasan, dialog antaragama digerakkan oleh Menteri Agama Mukti Ali dengan pemikir-pemikir menerobos seperti Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, dan sejumlah nama lain dari kelompok Islam, kemudian menjelang tahun 1998 oleh pemikir Kristen Protestan seperti Th Sumartana.

Setelah reformasi dengan adanya gesekan-gesekan di antara agama-agama, dialog dicoba dihidupkan kembali lewat lembaga-lembaga nonpemerintah seperti DIAN/Interfidei, MADIA, ICRP, dan sejumlah lembaga lain dengan semangat menemukan kesamaan-kesamaan sebagai jembatan bertemu.

Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) yang lahir tahun 1995 berangkat dari keprihatinan bersama kalangan aktivis keagamaan. Para perintisnya, seperti Budhy Munawar-Rachman, Retnowati, Sr Bernardia Guhit, Trisno S Sutanto, Kautsar Azhari-Noer, merasa semakin sempitnya ruang terbuka bagi perjumpaan agama-agama yang jujur, terbuka, dan kritis. "Kami lebih melihat sebagai jejaring terbuka ketimbang sebuah lembaga yang struktural-hierarkis," kata Amanda Suharnoko, Ketua Umum MADIA.

Kebutuhan akan dialog yang jujur dan mendalam itu pula yang mendorong lahirnya Forum Persaudaraan Antar-Umat Beriman (FPUB Yogyakarta) tahun 1997 yang kemudian menjadi "rumah joglo"-nya bukan saja dialog antaragama, tetapi juga respons FPUB terhadap problem sosial-ekonomi, hingga dampak gempa besar di Yogyakarta tahun 2006. Dipimpin oleh KH Abdul Muhaimin (pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede), FPUB lalu menjadi model jejaring di sejumlah kota dan provinsi lain.

Model jejaring dipilih mengingat keterbatasan sumber daya. Model jejaring lebih memungkinkan perjumpaan. Lewat pengalaman selama ini, MADIA belajar bahwa persahabatan merupakan kunci dialog antariman. Meminjam kata-kata Amanda, "bagi kami, dialog merupakan percakapan di antara para sahabat yang horizonnya semakin luas. Dalam perjumpaan itu setiap orang dapat berbagi visi, keprihatinan, dan tradisi keimanan".

Koordinator Program MADIA Trisno S Sutanto setuju pendapat Ulil Abshar-Abdalla yang mengibaratkan MADIA sebagai rumah besar yang didiami berbagai tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Masing-masing tradisi punya kamar sendiri. Tetapi tradisi itu bisa bertemu di kamar mana pun, bisa di teras depan, di ruang makan, bahkan di dapur sekalipun. Mereka bisa bercanda atau bisa bersitegang. Malah tidak tertutup kemungkinan, kalau kehidupan bersama dalam rumah itu sudah akrab, para penghuninya bisa saling menengok, mengintip, bahkan nyelonong masuk ke kamar orang lain.

Visi atau impian tentang rumah bersama itu, demikian Amanda dan Trisno Sutanto, selama ini menjiwai dan menjadi sumber dinamika MADIA. Apa yang diusahakan tidak lebih dari menjaga atau menciptakan ruang-ruang terbuka bagi perjumpaan berbagai tradisi keagamaan. Upaya yang dilakukan tidak lebih dari "merayakan perbedaan".

Dengan semangat serupa, DIAN/Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) yang berkantor di Yogyakarta didirikan untuk mengkaji gambaran posisi dan peran agama-agama di tengah masyarakat.

Maksud itu direalisasi atas dasar kerja sama yang terbuka dan kritis. Almarhum Eka Darmaputera sebagai Ketua Yayasan DIAN/Interfidei mencatat, diperlukan tafsiran yang kreatif terhadap moto Bhinneka Tunggal Ika. Dialog dan kerja sama antaragama merupakan pemahaman kreatif terhadap masalah pluralisme di mana terjadi proses interaksi yang terbuka dan saling menghargai.

Th Sumartana (alm) selaku Direktur DIAN/Interfidei dalam pertemuan jejaring kelompok- kelompok antariman di Malino, Januari 2002, menaruhkan harapan pada gerakan antariman atau gerakan lintas-SARA. Dia kritik kegagalan agama- agama berperan aktif dalam merawat kehidupan bersama yang tercabik- cabik oleh konflik setelah Mei 1998. Lembaga-lembaga keagamaan cenderung hanya ingin membela kelompok agamanya sendiri.

Apa yang digambarkan dan menjadi obsesi lembaga yang didirikannya, DIAN/Interfidei, mendapat pengesahan pada tahun-tahun belakangan ini. Agama secara kelembagaan gagal karena cara beragama yang belum terbuka, penuh rasa benar sendiri, dan belum menghargai keyakinan orang lain. Dengan latar belakang kasus Maluku dan Poso yang terjadi hampir bersamaan waktu dengan pertemuan Malino 2002, terlihat menjamurnya jejaring kelompok dialog antaragama. Dan, pada pertemuan berikutnya tahun 2006 di Banjarmasin, seperti dikemukakan Elga Sarapung—Direktur DIAN/Interfidei sekarang—suasana tidak kalah menarik dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya di Malino.

Menurut Elga, pertemuan jejaring itu berdampak positif di daerah-daerah. Secara tidak langsung, perasaan untuk "bertemu dengan kebedaan masing- masing" berkembang di daerah. Mereka ibarat kelompok kritis. Selain membangun kebersamaan di antara agama-agama lain, Interfidei tidak kalah sengit dicurigai oleh kalangan Kristen Protestan sendiri. "Pluralisme dan pluralitas dalam segala hal, termasuk agama di Indonesia, perlu terus dikembangkan, dan tidak sedikit rasa curiga berasal dari kalangan Kristen yang awal- nya menjadi induk Interfidei," kata Elga seraya menghibur diri, "Kami tidak putus asa, kok."

Interfidei menempatkan diri sebagai fasilitator bertemunya gagasan-gagasan jejaring kelompok, membangun dialog yang produktif dengan cara mempertemukan pemeluk agama-agama. Dialog antarpemeluk agama-agama menjadi langkah awal dari dialog antaragama dan dialog antara agama dan masyarakat.

Dalam kegiatannya, Interfidei membangun kerja sama produktif dengan Candidasa dengan tokoh sentral almarhum Ibu Gedong Bagus Oka.

DIAN/Interfidei menyelenggarakan beberapa kali dialog antarjejaring kelompok agama seperti di Malino dan Banjarmasin. Dalam pertemuan-pertemuan itu didialogkan persoalan masing-masing, dengan kasus hangat pada waktu itu Maluku dan Papua. "Kami akan teruskan ini, misalnya tahun depan kami akan terlibat dalam pertemuan Masa Depan Pluralisme dan Dialog Antaragama," lanjut Elga.

Kini DIAN/Interfidei, dengan keterbatasan dana, terus melakukan penelitian, mendialogkannya lewat Newsletter Interfidei, dan membangun kerja sama dengan berbagai kelompok.

Muncul belakangan, dibandingkan dengan kelompok-kelompok aktivitas dialog agama, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Dibandingkan dengan DIAN/Interfidei, apalagi MADIA, ICRP lebih terstruktur—walaupun ketiganya sama-sama nonsektarian, nonprofit, nonpemerintah, dan independen yang mempromosikan dialog dan kerja sama lintas iman. ICRP yang diresmikan oleh Presiden RI (waktu itu) KH Abdurrahman Wahid tahun 2000 dimotori tokoh-tokoh agama seperti Djohan Effendi, Siti Musdah Mulia, Sudhamek AWS. Dalam kepengurusan 2003-2006 tercantum nama wakil-wakil kelompok agama/kepercayaan seperti Rm Ig Ismartono SJ (Katolik), KH Abdul Muhaimin (Islam), Pdt Yudho Purowidagdo (Kristen Protestan), KS Lindasari Wiharja (Khonghucu), P Djatikusumah (Kepercayaan Adat Sunda Wiwitan).

Menurut Musdah Mulia, Ketua Umum ICRP, dalam program kerja di antaranya ICRP memfasilitasi diskusi dengan berbagai kelompok agama dan kepercayaan. ICRP mendukung cara-cara nonkekerasan dalam menyelesaikan konflik-konflik berlatar belakang keagamaan-sosial-politik, membangun tradisi dialog antariman dan kepercayaan terutama untuk kalangan akar rumput. Produk yang rutin disampaikan antara lain majalah dua bulanan MaJEMUK. Merayakan Perbedaan Menuai Perdamaian. Majalah ini menjadi sarana transformasi wacana dan informasi sekitar dialog antariman.

Bagi Islam, dialog antaragama, ujar Musdah Mulia—karena dari segi ajaran maupun tradisi jauh dari kekerasan—tidak masalah. Pluralitas dalam arti keberagaman dalam suatu masyarakat sudah menjadi bagian dari sejarah Islam, dalam kerajaan Islam pun Islam hanya dianut oleh raja dan kerabatnya, mayoritas rakyat bukan Islam. Fenomena kekerasan berkembang ketika negara-negara non-Islam berperilaku sebagai penjajah. ICRP dalam konteks itu berusaha membangun citra bersama berbagai lembaga dan individu mengembangkan studi perdamaian dan resolusi konflik serta memperjuangkan hak-hak sipil kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam berbagai perspektif seperti jender, HAM, kehidupan beragama, ekonomi, sosial, politik.

Menghargai keberadaan lembaga-lembaga dialog agama, Beny Susetyo Pr merasa perjuangan hubungan antaragama dan antarpenganut agama akan semakin sulit. "Dialog antaragama dan antarpemeluk agama mengalami masa keemasan pada tahun 1970-an dengan motor Pak Mukti Ali," kata rohaniwan yang saat ini duduk sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia.

Baginya, dialog agama saat ini adalah dialog kemasan, membangun citra masing-masing agama. Padahal, dialog yang benar adalah dialog kehidupan dengan syarat utama belajar tentang kejujuran. "Kejujuran itu sekarang hilang," tegasnya.

Suburnya lembaga-lembaga dialog antariman di mata Beny menunjukkan kerinduan untuk bertemu, mendialogkan kehidupan dengan semangat jujur.

Mengutip secara tak sengaja eksistensialis Jacques Maritain dengan buku klasiknya, I and Thou, dialog tidak harus dikemas, tetapi situasi kehidupan yang akan mengundang orang berdialog. Dialog yang sejati meliputi pemahaman diri ke dalam, pengenalan akan partner dialog, dan ketekunan membaca tanda- tanda zaman untuk melakukan dialog.

Proses seperti itu tidak terjadi di negeri ini, tambah Beny. Padahal, lewat kehidupan itulah agama-agama bisa bertemu. Kalau dialog itu mengarah ke sana, dulu ada yang memberi istilah dialog karya atau kemudian dialog sosial, maka agama-agama dan para pemeluknya akan bersama-sama mencari.

Agama sebagai institusi memang tidak lagi menjadi tempat bertanya sebab dalam kenyataan agama dan kekuasaan itu berselingkuh, padahal agama seharusnya ada dalam posisi zona netral, yang bisa menjadi tempat berlindung bagi semua orang.

Di mata Beny Susetyo, MADIA, DIAN/Interfidei, ICRP, dan masih banyak lagi—lembaga-lembaga yang secara internal sudah pluralis—dalam gerak dan cita-citanya merupakan arena dan sarana untuk menemukan model hubungan antarkelompok yang plural, toleran positif dalam arti dengan senang menerima setiap orang adalah dirinya sendiri, menghargai eksistensi masing-masing.

Walaupun pluralitas-kemajemukan sudah given untuk negeri ini, ternyata untuk mewujudkannya dalam praksis membutuhkan perjuangan tanpa henti yang semakin berat—belum lagi umumnya lembaga-lembaga "pejuang" seperti itu terkendala oleh dana.

Catatan: Tulisan ini dikembangkan dari wawancara "Kompas" dengan Amanda Suharnoko, Elga Sarapung, Siti Musdah Mulia, Beny Susetyo Pr, Oktober 2007.

No comments: