Friday, October 12, 2007

Idul Fitri dan Tekad Membangun Negeri


Ahmad Fuad Fanani

Idul Fitri kali ini berbarengan berbagai kejadian yang menggerogoti kemanusiaan yang butuh tanggapan dan penyikapan.

Hal itu tampak pada penderitaan saudara kita di Myanmar, harga kebutuhan dasar yang melambung tinggi, bencana alam yang datang bertubi-tubi, elite politik yang sibuk memikirkan diri sendiri, dan lainnya.

Meski Idul Fitri hendaknya dirayakan dengan kegembiraan, sukacita, dan tradisi mudik, banyak yang justru merayakannya dengan dukacita dan seadanya.

Idul Fitri mengandung makna manusia harus kembali setelah melakukan perjalanan atau aktivitas. Kesucian dan pengabdian kepada Tuhan yang merupakan janji yang diucapkan manusia sebelum dilahirkan, harus menjadi tempat kembali yang sejati.

Transformasi kesucian

Idul Fitri terkait puasa. Menurut Nurcholish Madjid, karena selalu ada bahaya ancaman kebangkrutan spiritual, manusia memerlukan pembersihan diri yang dijalani dengan berpuasa di bulan Ramadhan.

Bulan puasa adalah bagai purgatorio, alam pembersihan diri, dilakukan dengan memperteguh kemampuan menahan diri dari segala godaan, terlepas dari alam inferno, kembali ke alam paradiso yang dianugerahkan Tuhan melalui kesucian primordial. Itulah yang dirayakan pada akhir Ramadhan (Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, 2000).

Mengingat Idul Fitri adalah puncak pelatihan puasa, banyak yang menganggap, setelah itu bebas melakukan apa saja. Padahal, pesan penting Idul Fitri adalah bagaimana kita mengevaluasi pelaksanaan puasa agar bisa ditransformasikan pada bulan berikut dan memaknainya sebagai Hari Kemanusiaan Universal yang suci. Dengan itu, kebaikan, kejujuran, kasih sayang, kepedulian terhadap sesama, dan amal ibadah lain diharap menghiasi hari-hari selanjutnya.

Penyebab kegagalan memahami dan membumikan makna puasa dan Idul Fitri—sehingga hanya menjadi ritus dan tradisi—adalah karena keberagamaan model ekstrinsik yang menekankan simbol dan perilaku pribadi.

Seharusnya, keberagamaan kita menekankan aspek intrinsik yang amat penting pada kehidupan publik. Dalam hal ini, ajaran dan tradisi akan tertransformasi pada sikap individu, gaya hidup, sikap moral, perilaku sosial, dan kepedulian pada sesama. Dengan begitu, kesalehan menjalankan ajaran agama akan berdampak pada penegakan moralitas, kemauan untuk jujur, tekad mengentaskan krisis negeri ini.

Sayang, keberagamaan intrinsik itu masih jauh dari kenyataan, apalagi kepada para pejabat publik dan politisi. Betapa tidak, ketika masyarakat menanti langkah nyata pemerintah dan partai politik untuk mengatasi krisis dan menciptakan kehidupan lebih baik, mereka berlomba mendeklarasikan calon Presiden 2009.

Meski bagus untuk pendidikan politik, banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak. Semestinya para elite lebih memikirkan bagaimana strategi dan langkah nyata agar rakyat mampu mendapat kebutuhan pokok dengan mudah, pengangguran terkurangi, orang miskin tidak semakin bertambah.

Membela yang terpinggirkan

Hassan Hanafi pernah menyatakan, meski dalam Al Quran disebutkan "inilah umatmu, umat yang satu" (QS 23: 52), fakta yang terjadi penuh perbedaan, antara kaya dan miskin, kuat dan lemah, penindas dan ditindas, yang memiliki segalanya dan tidak berpunya, serta yang eksis dan dipinggirkan.

Banyak pembelaan pada yang pertama dan pembiaran pada yang kedua. Padahal, kita harus memihak yang kedua dengan menyuarakan "mayoritas yang diam" di antara umat Islam, membela kepentingan seluruh manusia, mengambil hak orang miskin dari orang kaya, memperkuat orang lemah, dan menjadikan manusia sama-setara kecuali atas dasar ketakwaan dan amal saleh (Apa Arti Kiri Islam, 2000).

Anjuran dan ajakan mulia itu bisa dijadikan paradigma keagamaan dan perjuangan. Para pemegang kekuasaan, jangan hanya sibuk mengurus diri dan golongannya, tetapi memperjuangkan kepentingan konstituennya. Itulah fitrah sejati manusia yang dipesankan Tuhan melalui amal ibadah dan kehidupan.

Perubahan paradigma berpikir dan berjuang tak datang seketika saat puasa dan Idul Fitri. Hikmah puasa yang mengajarkan agar peduli pada sesama dan Idul Fitri yang berarti kembali ke kesucian, harus menjadi sarana refleksi.

Saatnya merayakan Idul Fitri dengan kebersamaan dan kepedulian membangun negeri, tempat kita membangun kehidupan.

Ahmad Fuad Fanani Peneliti di International Center for Islam and Pluralis

No comments: