Friday, October 12, 2007

Idul Fitri, Kepemimpinan, dan Modal Sosial


Azyumardi Azra

Ibadah puasa selama sebulan penuh telah usai. Diharapkan mereka yang berpuasa berhasil mencapai tujuan seperti dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) Ayat 183, "mudah-mudahan kamu sekalian menjadi orang yang takwa (laalakum tattaqûn)."

Mereka yang takwa terpelihara dari segala sesuatu yang tidak baik, bukan hanya saat menjalankan puasa dan ibadah lain yang bersifat individual-personal, tetapi juga dalam kehidupan sosial-komunal pasca-Ramadhan.

Maka, melalui ibadah, umat Islam hendaknya dapat mengaktualisasikan "kesalehan individual-personal" menjadi "kesalehan sosial". Tanpa kesalehan sosial, ibadah puasa dan ibadah lain kehilangan makna dan fungsinya sehingga menjadi formalitas belaka.

Kembali ke fitrah

Kaum Muslimin patut bersyukur karena setelah menjalankan ibadah puasa, mereka telah kembali kepada "fitrah", kepada "kesucian" (‘id al-fitr). Fitrah atau kesucian merupakan pemberian khusus Allah kepada manusia; fitrah merupakan unsur lahut (ketuhanan) yang diberikan kepada manusia. Namun, dalam perjalanan hidup manusia sehari-hari, unsur lahut yang mahasuci itu bisa terkotori berbagai perbuatan manusia sendiri. Karena itu, ibadah puasa dan ibadah-ibadah selama Ramadhan bertujuan agar manusia Muslim suci kembali sehingga pada hari raya Id al-Fitri mereka pantas merayakan kembalinya fitrah itu.

Dengan kembali kepada fitrah secara individual-personal, sepatutnya setiap pribadi Muslimin memperluas kesucian itu dari hubungan manusia dengan Allah SWT (habl min Allah) kepada kehidupan sosial. Ini dapat dilakukan dengan saling meminta dan memberi maaf, lalu meningkatkan ibadah sosial serta kesalehan sosial sehingga hubungan antarmanusia (habl min al-nas) tidak hanya menjadi penuh kesucian, tetapi juga penuh kedekatan dan keeratan.

Kepemimpinan

Bagi warga Jakarta, hari raya Id al-Fitri ini cukup istimewa karena mempunyai gubernur baru. Kita patut bersyukur, Pilkada DKI Jakarta berjalan lancar, aman, dan damai, membuktikan masyarakat Ibu Kota sudah kian matang dalam berdemokrasi. Dalam konteks umat Islam, hal ini penting karena keberhasilan pilkada itu sekali lagi membuktikan kaum Muslim dan Islam tidak bermasalah dengan demokrasi; tidak seperti anggapan kalangan Barat bahwa demokrasi tidak cocok dengan Islam.

Untuk itu, menyambut kepemimpinan baru itu, patut diingat kembali pentingnya hubungan baik dan harmonis di antara para pemimpin (umara) dan rakyatnya. Dalam berbagai kitab klasik Melayu, seperti Bustanul Salatin, Hikayat Raja-raja Pasai, hubungan antara umara dan rakyat selalu digambarkan seperti hubungan antara jari manis dan cincin. Begitu dekatnya sehingga rakyat merupakan "perhiasan" bagi para umara. Hubungan baik dan kepaduan di antara keduanya saling mempercantik.

Dalam hubungan amat dekat itu, para umara dan pemimpin lain harus bertanggung jawab kepada setiap dan seluruh rakyat. Dalam konteks itu, Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya menyatakan, "Kamu sekalian adalah penggembala (pemimpin); dan penggembala (pemimpin) akan diminta pertanggungjawaban atas pengembalaannya (kepemimpinannya)".

Dalam konteks "penggembalaan", kepemimpinan sekarang dituntut membangun dan memberdayakan good governance, tata pemerintahan yang baik. Menurut berbagai kajian, ada sejumlah prinsip dan karakter good governance, antara lain berlandaskan demokrasi; memiliki orientasi pelayanan publik, wawasan ke depan, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, kompetensi, dan daya tanggap; mengundang partisipasi masyarakat; menjunjung tinggi supremasi hukum; menerapkan efisiensi dan efektivitas; serta menekankan desentralisasi wewenang dan kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat madani. Tak kurang pentingnya, tata pemerintahan yang baik juga memiliki komitmen pada pengurangan berbagai kesenjangan sosial-ekonomi, pada perlindungan dan penyelamatan lingkungan hidup; pada kehidupan ekonomi dan pasar yang adil.

Jika prinsip good governance dijalankan para pemimpin formal dan birokrat pada berbagai tingkatannya, insya Allah pemerintahan dan birokrasi dapat menjalankan fungsinya untuk kemaslahatan publik. Pada saat yang sama rakyat yang dipimpin, mereka yang digembalai, mesti taat kepada para pemimpin yang menjalankan kepemimpinan dan birokrasi atas dasar prinsip-prinsip good governance itu. Salah satu ciri dan karakter orang beriman adalah patuh kepada pemimpinnya. Bahkan kepatuhan kepada pemimpin itu disebutkan dalam satu napas dalam kepatuhan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya (Surat An Nisa’ 4:59).

Menurut ajaran Islam, kepemimpinan dalam jabatan tertentu adalah amanah, yang secara etimologis berarti "jujur" dan "lurus". Secara syar’i berarti ’sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya’. Amanah dapat juga disebut sebagai trust. "Amanah" atau trust adalah salah satu modal sosial (social capital) amat penting bagi terwujudnya kehidupan sosial, kebangsaan dan kenegaraan yang kokoh. Tanpa trust, saling percaya, saling amanah, masyarakat, bangsa, dan negara akan selalu saling curiga, tidak percaya, sulit melakukan apa saja. Oleh karena itu, modal sosial amat penting bagi bangsa dan negara untuk bisa mencapai kemajuan.

Kurangnya amanah dan trust di antara sesama pemimpin di antara rakyat dan pemimpin, bahkan di antara rakyat dan rakyat, terlihat meningkat beberapa tahun terakhir ini. Hal ini terlihat, misalnya, dalam tindakan aksi saling curiga dan hujat di antara pemimpin, atau di antara rakyat dengan pemimpinnya. Tidak jarang sikap tidak percaya itu berubah menjadi tindakan dan aksi kekerasan.

Kini saatnya mengukuhkan kembali amanah dan trust guna membangun good governance. Tanpa itu, kian sulit bagi kita untuk menggapai masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta

No comments: