Friday, October 12, 2007

Islam dan Persaudaraan Universal


KH A Hasyim Muzadi

Dalam konteks rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas.

Dari sisi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini pemeluknya dan tidak bisa dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam. Begitu pula dalam ritual, sudah ditentukan operasionalnya dalam Al Quran dan Al Hadis.

Namun, dalam konteks sosial, Islam sebenarnya hanya berbicara tentang berbagai ketentuan dasar saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif, tergantung pada kesepakatan dan pemahaman setiap komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.

Pluralitas "sunnatullah"

Entitas Islam sebagai rahmat lil’alamin mengakui eksistensi pluralitas karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah kepada manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.

Pluralitas, sebagai sunnatullah diabadikan dalam Al Quran, antara lain dalam surat Ar Rum ayat 22 dan surat Al Hujurat ayat 13. Ayat-ayat itu menempatkan kemajemukan sebagai syarat determinan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.

Banyak ayat Al Quran yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain surat Al Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat persaudaraan. Allah SWT berfirman, "Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."

Benang merah perintah ini, untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks ini, KH Achmad Siddiq, Rais Am PBNU era 1980-an, mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwah).

Pertama, ukhuwah Islamiah, artinya persaudaraan yang berkembang atas dasar keagamaan (Islam) dalam skala lokal, nasional, ataupun internasional.

Kedua, ukhuwah wathaniah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan.

Ketiga, ukhuwah basyariah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan.

Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsi masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan lil’alamin akan terwujud. Menurut KH Achmad Siddiq, ukhuwah Islamiah dan ukhuwah wathaniah merupakan landasan terwujudnya ukhuwah insaniah.

Sebagai umat Islam ataupun bangsa Indonesia, kita harus serius dan saksama memerhatikan ukhuwah Islamiah dan ukhuwah wathaniah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua ukhuwah ini. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan ber-ukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik. KH Achmad Siddiq menjelaskan, persaudaraan ’inda al-lslam (versi Islam) bukan persaudaraan eksklusif atau persaudaraan yang terbatas pada umat Islam saja.

Persaudaraan universal

Persaudaraan Islam adalah persaudaraan yang luas, bahkan meliputi orang ateis, sekalipun selama mereka tidak berniat memusuhi umat Islam.

Rasulullah SAW memberi contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah, berisi jaminan hidup damai bersama umat agama lain. Juga saat menaklukkan Mekkah, beliau menjamin setiap orang, termasuk musuh yang ditaklukkan, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja dan sinagoga boleh menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan.

Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW menggunakan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya, dan agama dapat tercapai. Selama lebih dari 12 tahun di Mekkah, perjuangan beliau penuh risiko. Para sahabat diminta bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum muslimin— saat itu kekuatan Islam masih lemah—pada tahun ke-12 masa kenabian, beliau memutuskan berhijrah ke Madinah. Pada periode itu, Nabi konsisten menggunakan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama, dan melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, dan terkenal dengan sebutan Piagam Madinah.

Hal itu terkandung maksud, kendati terjadi perang, motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi dakwah. Oleh karena itu, perang tidak bersifat ofensif, tetapi defensif, semata-mata sebagai jalan (wasilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh eksesif atau destruktif, harus tetap menghargai HAM, tidak boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orangtua, dan tidak boleh menghancurkan lingkungan, fasilitas umum, dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat Rasulullah yang disampaikan kepada pasukan perang Islam saat Perang Mu’tah dan Fath Mekkah.

KH A Hasyim Muzadi Ketua Umum PBNU; Presiden World Conference of Religions for Peace (WCRP)

No comments: