Friday, October 12, 2007

Kegembiraan Idul Fitri


Abd Moqsith Ghazali

Idul Fitri adalah hari istimewa. Di dalamnya terkandung sekaligus dua peristiwa, spiritual dan sosial.

Secara spiritual, Idul Fitri kerap diartikan sebagai momen kemenangan bagi umat Islam, setelah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Ketika puasa, seseorang menahan lapar-haus sepanjang hari dan tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan puasa. Orang kaya bisa ikut merasakan penderitaan orang-orang miskin yang hari-harinya penuh lapar dan haus, sementara si miskin bisa meningkatkan daya sabarnya di tengah kemiskinan dan kemelaratan yang melilitnya.

Tatkala puasa dijalankan, setiap orang diminta mengendalikan diri, baik jasad maupun hati dan pikiran, agar tak terjatuh pada dosa, baik dosa privat maupun dosa publik, sehingga bisa mengantar yang bersangkutan kepada "fitrah"-nya yang asal.

Minggu terakhir Ramadhan, munajat malam intensif dipanjatkan dengan rendah hati dan suara lirih, tanpa sorotan kamera, pengeras suara, apalagi beduk bertalu-talu. Kaum Muslim giat bertobat karena tak satu orang pun bisa menghindar dari dosa.

Makhluk Allah

Kemustahilan menghindari dosa menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang daif. Sebuah hadis menyebutkan, al-nas kulluhum khaththa’un wa khair al-khaththa’in al-tawwabun (semua manusia bersalah, dan orang terbaik saat bersalah adalah mereka yang bertobat).

Pengakuan dosa adalah penegasan sebuah kesalahan. Dengan merasakan dosa dan kesalahan, manusia sadar akan kedaifan dirinya. Di saat itulah ia perlu merenungkan kesempurnaan sifat-sifat Tuhan dan terus menanamkannya dalam diri. Penubuhan (embodiment) sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia adalah proses yang tanpa akhir, karena manusia tak akan pernah bisa menjadi Dia, Allah. Dengan demikian, tak ada alasan bagi seseorang untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain.

Pada hari Idul Fitri, secara simbolik orang saling bermaafan, satu dengan yang lain. Di kampung, orang saling berkunjung, dari pintu ke pintu, meminta maaf atas kekeliruan yang pernah dilakukan.

Di lingkungan masyarakat kota dan kosmopolitan, saat silaturahmi fisikal makin tidak mungkin dilakukan, orang melakukan permintaan maaf melalui media teknologi komunikasi seperti SMS (layanan pesan singkat) atau melalui internet dengan mengirimkan e-mail. Bahkan, umat non-Muslim pun ikut ambil bagian dari perayaan Lebaran itu.

Ucapan selamat Idul Fitri dari umat agama lain hilir mudik masuk ke dalam HP umat Islam. Pada hari raya Idul Fitri ini, relasi-relasi kemanusiaan yang melintasi batas-batas agama muncul secara tak terkendali. Lebaran akhirnya tak mudah diberi tapal batas ras, kelas, bahkan agama.

Lebaran, peristiwa sosial

Dalam konteks masyarakat Indonesia, Lebaran tak hanya merupakan "properti" atau hak milik umat Islam. Ia telah menjadi peristiwa sosial yang melibatkan umat agama lain. Idul Fitri tak lagi menjadi kegembiraan eksklusif mereka yang berpuasa, tetapi juga milik mereka yang sepanjang hidupnya tak pernah menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri tak hanya dirayakan para ulama dan kaum santri, tetapi juga kaum abangan. Kegembiraan Lebaran dirasakan semua warga bangsa.

Menurut Islam, ketika Lebaran tiba, tak boleh ada satu orang pun yang menderita kelaparan. Karena itu, zakat fitrah disyariatkan. Dalam pandangan sebagian (bukan semua) mufasir Al Quran, zakat tak harus diberikan kepada umat Islam yang fakir dan miskin.

Bersandar pada QS Al Baqarah (2): 272 "apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu jua", Al-Qurthubi dalam al-Jami` li Ahkam al-Quran (Jilid II, halaman 290) membolehkan umat Islam sekiranya hendak bersedekah kepada umat non-Muslim bahkan kaum musyrik.

Pendapat yang sama dikemukakan Imam Abu Hanifah. Al-Mahdawi yang menegaskan, ayat itu menunjukkan dibolehkannya berzakat kepada sanak saudara yang miskin sekalipun musyrik. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, kasih sayang dan bantuan kepada orang miskin tak perlu menunggu sampai yang bersangkutan masuk Islam.

Berbeda tetapi satu

Pendapat itu tampaknya yang dijadikan acuan sebagian ulama Indonesia yang membolehkan umat Islam berzakat kepada non-Muslim, dan mereka pun tak mempersoalkan sekiranya umat Islam menerima bantuan dari umat agama lain. Itu sebabnya, hubungan umat Islam dengan umat agama lain di Indonesia terasa amat dekat dan mesra. Bahkan, sebagian pesantren di Jawa memiliki program dan kerja sama dengan umat agama lain.

Fenomena itu kiranya tak mudah dicari bandingannya di negeri lain, di mana harmoni antarumat beragama dan antarumat Islam bisa dirajut dengan baik. Orang non-Muslim bisa memberikan ketupat Lebaran bagi umat Islam.

Meskipun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berkali-kali berbeda dalam penentuan hari raya Idul Fitri, warga dua ormas itu tidak terlibat konflik, apalagi pertumpahan darah. Kiranya, inilah sebuah kedewasaan dan kematangan umat Islam Indonesia dalam beragama. Sebagai antipode, lihatlah pertengkaran antarumat Islam (Sunni dan Syiah) di Timur Tengah yang hingga kini tak kunjung henti.

Idul Fitri adalah permulaan hari baru, di mana masyarakat telah mengalami perubahan atau transformasi dalam dirinya. Idul Fitri bukan hari dengan mobil baru dan pakaian baru (liman labisa al-jadid), tetapi hari di mana individu-individu dengan kesadaran baru (liman tha’athuhu tazidu) akan datang mengisi ruang-ruang publik Indonesia.

Memang, bukan manusia sempurna yang tak pernah terwujud, tetapi manusia yang sadar akan keterbatasannya dan belajar dari beberapa kekeliruan yang pernah dibuatnya. Harapannya, dari tangan manusia-manusia baru ini akan lahir Indonesia Baru, Indonesia yang makmur dan diridai Tuhan.

Selamat hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1428 Hijriah.

Abd Moqsith Ghazali Peneliti The Wahid Institute; Pengajar Departemen Filsafat dan Agama Universitas Paramadina Jakarta

No comments: