Sunday, October 14, 2007

Tajdid Ramadhan Umar


Oleh : Dr Miftah Faridl

Seperti banyak diungkap dalam sejarah, Umar bin Khattab adalah satu di antara sedikit sahabat yang memiliki keberanian intelektual tersendiri. Kita ingat, misalnya, komentar Umar tentang tradisi mencium Hajar Aswad di sudut Ka'bah. ''Andai saja Nabi tidak melakukan ini, niscaya aku tidak sudi melakukannya,'' kata Umar seperti digambarkan dalam salah satu tradisi sahabat (sunnah shahaby).

Umar tentu telah berpikir panjang sebelum mengungkapkan buah pikirannya itu. Umar mungkin melihat sisi-sisi yang tidak rasional dari perilaku ibadah yang satu ini. Namun, Umar tetap melakukan mencium Hajar Aswad karena ketulusannya mengikuti apa pun yang dicontohkan Nabi.

Selama hidupnya, Umar dikenal banyak berijtihad. Ketika menjadi khalifah, Umar pernah membebaskan seorang pencuri karena alasan yang sangat masuk akal. Pencuri itu diketahui seorang miskin yang terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Padahal, sebagai sosok pemimpin yang selalu berusaha konsisten dengan hukum, Umar dikenal tegas memberi sanksi kepada siapa pun yang melanggar ajaran. Tapi, Umar tetap memberikan pertimbangan yang sangat manusiawi.

Banyak pemikiran segar Umar kemudian menjadi pegangan dalam pelaksanaan ibadah. Selain cerdas dan pemberani, Umar juga dikenal sangat kritis terhadap sabda-sabda Nabi. Termasuk tentang pelaksanaan shalat Tarawih di musim Ramadhan.

Dialah yang menyerukan pelaksanaan shalat sunah Tarawih berjamaah. Berkumpullah setiap individu yang menyatu dalam ikatan teologis untuk memupuk kebersamaan. Hanya satu bulan dari dua belas bulan yang setiap hari kita lalui.

Selama bulan inilah kita hidupkan kembali semangat kemanusiaan yang berakar pada ajaran ukhuwah. Setiap diri kita merasakan suasana yang sama, sebagai simbol bahwa kebersamaan adalah tiang penting dari bangunan ukhuwah yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

Khalifah Umar telah merintis tradisi kebersamaan ini dengan menyatukan pelaksanaan shalat Tarawih secara bersama. Suatu kreativitas (tajdid) dalam ibadah dengan memberikan pertimbangan sosial untuk kemanusiaan. Di masjid setiap individu duduk bersama, dalam garis sejajar yang tidak memberikan kesempatan untuk meninggikan ataupun merendahkan antara satu dan yang lainnya.

Sayangnya, dalam praktik iktikaf, Umar saat itu tampaknya tidak sempat melakukan pembaruan. Karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman dalam pelaksanaan tradisi iktikaf, diperlukan ''umar-umar bin khattab'' baru agar ajaran Islam tetap segar dan relevan dengan tuntutan sosial.

No comments: